“Rupiah ditutup pada sesi perdagangan Jumat 06 juli
2018 pada level Rp 14.409,-“ mengutip pada laman website Bank Indonesia www.bi.go.id.
Hal ini menjadi pertanyaan seorang teman “Mungkin
nggak Bro, Kurs Dollar terhadap Rupiah menembus di angka Rp 15.000,- dan ada
tidak hubungannya dengan perang Dagang Trump ???”.
Rasanya kita baru saja dihadapkan pada tembusnya
harga dollar di angka Rp 14.000,- tepatnya
pada hari Rabu, 09 Mei 2018 di angka Rp 14.080,-. Sebelum terjadi pelemahan
ini, sempat terjadi perdebatan dari beberapa ahli ekonomi yang menyebutkan
bahwa Kurs Dollar terhadap Rupiah tidak akan tembus pada angka Rp 14.000,-
Namun, ada lagi yang menyebutkan bahwa Mata Uang Negeri Paman Sam tersebut akan
tembus pada angka Rp 14.000,-.”
Faktanya, keperkasaan sang mata uang Garuda semakin
melemah hingga menyentuh di angka Rp 14.409,- Kondisi yang terjadi ini
menimbulkan kegalauan bagi Pengusaha dan tentunya dapat berdampak terhadap UMKM.
Kita tentu tahu bahwa negara Indonesia saat ini masih mengimpor barang berupa
daging Sapi, apel, anggur, Gula, Kacang kedelai, Susu bubuk, Beras, termasuk
Minyak mentah.
Imbasnya, Masyarakat harus mengeluarkan uang lebih
banyak untuk mendapatkan satuan barang dengan kuantitas yang sama akibat
kenaikan harga dollar ini. Seperti diketahui, bahwa negara AS sendiri merupakan
negara yang besar dan kuat baik di bidang ekonomi, politik dan militernya.
Sehingga negara ini dijuluki negara “super power”. Pengaruhnya terhadap negara
lain juga cukup besar dan menimbulkan analogi “kalau negara AS ini bersin saja,
maka negara lain bisa terkena demam”.
Akhir-akhir ini, Berbagai media baik media cetak dan
media elektronik memberitakan mengenai perang dagang “Trump”. Hal ini dimulai
dengan kebijakan pemerintah AS memberlakukan tariff impor pada produk baja sebesar 25% dan aluminium sebesar
10%. Secara perhitungan, nilainya mencapai US$ 60 miliar atau sekitar Rp 826
triliun.
Mengutip dari berbagai sumber bahwa Perang dagang itu
sendiri merupakan sebuah kebijakan yang diambil oleh Pemerintah untuk
mengurangi persaingan impor melalui pengenaan tariff, kuota jumlah barang yang diimpor dan hambatan lainnya
dengan tujuan agar produk dalam negerinya laku dan menang di pasar.
Perang dagang AS ini bukan yang pertama sekali
diterapkan. Pada tahun 1930, AS pernah memberlakukan kebijakan tariff terhadap produk dari Pabrik
negara lain, mulanya disebabkan Produk AS sendiri yang kalah bersaing dengan
produk dari negara lain.
Kemudian, Pada tahun 1980 juga terjadi perang dagang
antara AS dengan Jepang. Hal ini disebabkan produk mobil dan baja yang laku
keras di negara AS sehingga pabrik-pabrik baja AS banyak yang ditutup.
Ternyata kebijakan tariff yang diambil Paman Sam ini tidak berjalan mulus, malah menuai
kritik dari beberapa negara Uni eropa, India, Kanada dan Meksiko. Bahkan,
memberikan ancaman balik dengan memberlakukan tariff yang sama terhadap barang impor dari AS.
Pengaruh
terhadap Indonesia
Kalau ditanya apakah perang dagang AS ini berpengaruh
terhadap Indonesia ? Jelas berpengaruh. Sebelumnya, Menteri perdagangan
Enggartiasto Lukito menyebutkan “adanya ancaman perang dagang AS terhadap 124
produk asal Indonesia.” Komentar ini dapat menimbulkan kepanikan para pengusaha
dan investor dan dampaknya terhadap nilai tukar Rupiah semakin melemah.
Di sisi lain, Ekonom Drajad Wibowo berkomentar lain
bahwa AS tidak level jika perang dagang dengan Indonesi. Jika dilihat dari sisi
impor saja, maka nilai Impor AS terhadap produk Indonesia relative sangat kecil hanya sebesar US$ 19.6 Miliar pada tahun
2015. Nilai impor Indonesia jika dibandingkan negara lain, Nilainya sama dengan
4.1% Impor dari China, 6.6% impor dari Kanada atau Meksiko, 14.3% Impor dari
Jepang dan 16.7% dibandingkan impor dari Jerman.
Namun, pengaruhnya terhadap Indonesia tidak terasa
secara langsung. Mengingat Negara China mengimpor bahan baku dari Indonesia dan
diekspor ke AS. Jika kebijakan AS terhadap produk China diberlakukan tariff maka bahan baku dari Indonesia yang
diekspor ke China juga akan mengalami penurunan. Para eksportir bahan baku
Indonesia ini akan mengalami penurunan volume penjualan dan akan mengganggu
keuangan perusahaan Indonesia. Jika berdampak lama, ditakutkan hal ini dapat berdampak
pada pengurangan Karyawan (PHK).
Larinya dana-dana asing ke luar Indonesia dan tindakan
spekulasi terhadap mata uang Dollar AS juga dapat melemahkan nilai mata uang
Garuda terhadap Dollar AS. Efeknya dapat menimbulkan harga produk di dalam
negeri meningkat juga. Hal ini patut diwaspadai oleh Pemerintah dengan segera
memberikan obat penawar dalam meredam kondisi yang sedang terjadi.
Jangan lupakan
Produk Indonesia
Tidak ada salahnya melihat sejenak ke belakang
tepatnya tahun 1998, pada saat terjadi krisis moneter yang menimpa Indonesia.
Pada saat itu, perusahaan besar banyak yang kolaps, UMKM malah bertahan dan
tahan banting.
Peranan UMKM ini dapat dilihat dari data BPS tahun
2007, Terdapat 49.8 juta atau 99.99% unit usaha yang ada di Indonesia. UMKM malah
dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 91.8 juta atau 97.3% dan memberikan kontribusi terhadap PDB
sebesar Rp 2.121,3 Triliun atau 53.6%. Untuk itu, UMKM perlu menjadi focus perhatian utama di Indonesia.
Kebanggan masyarakat menggunakan produk luar negeri
tentunya dapat berdampak kurang baik terhadap perekonomian. Di kehidupan
sehari- hari saja, anak – anak muda dengan bangganya menggunakan sepatu buatan
Jerman merk “adidas”. Hal ini sama dengan memberikan keuntungan kepada perusahaan
Jerman tersebut dan keuntungannya dibawa ke luar negeri sehingga dapat
menyebabkan dana dari dalam negeri lari ke luar negeri. Ini dapat menjadi
contoh kecil yang menyebabkan Rupiah melemah.
Padahal, Sepatu Sport merk
Indonesia sendiri tidak kalah kualitasnya seperti Specs, TomKins, Piero, League
dan Precise.
Tidak ada salahnya juga sebagai masyarakat agar
berpartisipasi aktif dan tidak gengsi dengan menggunakan produk-produk dalam
negeri. Sepatu “Bunut” buatan
Kisaran, kabupaten Asahan tidak kalah kualitasnya dengan sepatu merk Buccheri
buatan italia.
Tidak ada salahnya juga menggunakan Handphone dengan
Merk “Polytron” yang merupakan produk Indonesia, dan tidak kalah kualitasnya
dibandingkan dengan Handphone merk Samsung Buatan Korea.
Bussiness
Strategic Partner : Bank & UMKM
Dunia UMKM tidak bisa dipisahkan dari eksistensi
peranan Bank. Ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan. UMKM
membutuhkan modal untuk meningkatkan aktivitas usahanya, begitu juga dengan
Bank yang membutuhkan UMKM agar aktif bertransaksi melalui Bank melalui
fasilitas pinjaman, simpanan dan layanan Bank lainnya.
Bank yang Pro UMKM perlu dikuatkan peranannya agar
UMKM bisa naik kelas. Yang awalnya usaha mikro dapat berkembang menjadi usaha
kecil, yang awalnya usaha kecil dapat berkembang menjadi usaha menengah, dan yang
awalnya usaha menengah dapat berkembang menjadi usaha yang besar.
Selain itu, peran Bank juga dapat ditingkatkan menjadi
partner bagi UMKM, tidak hanya dalam hubungan simpanan dan pinjaman. Akan
tetapi, memberikan pembinaan bahkan menjadi perantara dalam memperkenalkan
produk – produk UMKM sampai ke luar daerah.
Dengan pembinaan dan kerjasama yang baik ini,
diharapkan dapat menjadikan produk dalam negeri tidak hanya laku di pasar domestic atau “jago kandang”. Akan
tetapi, bisa menjadi kebanggaan bagi Indonesia.
Sehingga generasi penerus di Indonesia akan bangga
dan suatu saat mengatakan begini :” itu Produk Negara ku, Negara Indonesia. Aku
Cinta produk-produk Indonesia”
Hem, masya Allah, bagus. Sekarang saya paham. Memang, jika kita tidak memasyarakat jiwa nasionalisme dalam sistem dagang. Maka, kita akan menjadi tamu di rumah sendiri.
BalasHapusAnak muda sekarang mungkin kurang lebih mengenal produk dalam negeri. Sehinggan mereka lebih senang menggunakan atau memamerkan barang mreka yang kebanyakan menggunakan produk luar negeri. Untuk itu, Indonesia harus lebih berusahan lagi untuk memperkenalkan produk mreka terutama untuk para pemuda/i Indonesia, agar memilih produk dalam negeri yang tentu kualitas nya tidak kalah saing dengan luar negeri. Agar perekonomian indonesia dapat stabil kembali.
BalasHapus